Minggu, 25 November 2012

Cara Ular Berburu di Malam Hari


Ular diketahui memiliki ketepatan akurat serta kecepatan untuk berburu saat malam hari atau di tempat gelap. Bagaimana ini bisa dilakukan? Beberapa ilmuwan, Minggu mengungkapkan cara predator berdarah dingin tersebut mencari mangsa di saat gelap. Selama berabad-abad telah diketahui bahwa ular derik, boa, dan piton memiliki sesuatu yang disebut organ rongga di antara mata dan lubang hidungnya yang dapat merasakan bahkan sekelumit radiasi infra-merah --panas-- di sekitar mereka. Di antara ular berbisa, "diamondblack rattlesnake", hewan asli Meksiko utara dan Amerika Serikat barat-daya, berada di kelasnya sendiri, yakni kemampuannya mencari panas 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan ular lain sepupunya. Bahkan dengan potongan kecil yang menutupi matanya, ular tersebut telah memperlihatkan kemampuan untuk melacak dan membunuh korban dengan mata tertutup. Tetapi bagaimana secara tepat pemangsa reptil itu mendeteksi dan mengubah sinyal infra-merah menjadi denyut syaraf tetap menjadi misteri, dan objek perdebatan tajam. Satu calon ialah proses protokimiawi yang menggaris-bawahi pandangan, sedangkan mata melihat radiasi elektromagnetik--cahaya penglihatan bagi manusia--dalam bentuk proton yang mengaktifkan sel-sel penerima, Sel-sel tersebut gilirannya mengubah energi jadi sinyal biokimia di otak. Sebagian ikan, misalnya, dapat melihat ke dalam panjang gelombang spektrum elektromagnetik infra-merah. Namun David Julius, ahli biologi molekular di Universitas California, San Fracisco, memperlihatkan dalam percobaan laboratorium, bahwa ada jalur syaraf yang berbeda berperan sebagai "indra keenam" ular tersebut. "Dalam kasus ini, radiasi infra-merah benar-benar terdeteksi di dalam organ rongga itu sebagai panas," kata Julius dalam wawancara telepon dengan kantor berita Prancis, AFP. "Kami mendapati molekul itulah yang bertanggung jawab." Membran yang sangat tipis di dalam organ rongga tersebut--terutama lubang dangkal yang terlihat tulangnya--menghangat saat radiasi masuk melalui pembukaan pada kulit, ia menjelaskan. Karena membran tersebut adalah ruang dangkal dan sensitif terhadap perubahan temperatur. "Jaringan yang memanas lalu mengirim sinyal ke serat syaraf untuk mengaktifkan penerima yang telah kami identifikasi, dikenal sebagai saluran TRPA1," katanya. Jalur syaraf-kimiawi yang terlibat tersebut menunjukkan ular merasakan panas dan bukan melihatnya. "Molekul yang kami temukan itu milik satu keluarga reseptor yang berkaitan dengan jalur rasa sakit pada mamalia," kata Julius. Pada manusia, mekanisme yang serupa disebut "wasabi receptor". Sepertinya namanya wasabi, bumbu Jepang yang pedas dan menyengat, reseptor itu memungkinkan sistem syaraf sensor manusia mendeteksi iritasi yang berasal dari keluarga mostar. Namun pada mamalia, itu bukan diaktifkan oleh panas. Adaptasi dan Evolusi Temuan tersebut, yang disiarkan di Jurnal Nature, juga memberi titik terang baru mengenai bagaimana ular, yang telah melata di seluruh planet Bumi selama lebih dari 100 juta tahun, berevolusi. "Mempelajari perubahan pada molekul sensor adalah cara yang menarik untuk meneliti evolusi karena saat hewan menghuni tempat yang berbeda, mencium dan merasakan benda yang berbeda, memburu hewan yang berbeda, sistem sensor mereka harus menyesuaikan diri," kata Julius. Temuan itu juga menunjukkan bahwa kekuatan seleksi alam menghasilkan mekanisme pencari panas serupa yang luar biasa pada reptil dan pada kesempatan terpisah. Tak seperti ular boa atau piton, yang juga memiliki organ rongga, viper--termasuk ular derik-- relatif baru muncul, dalam kasus evolusi. Sehingga diduga dua spesies itu merupakan hasil pengembangan kemampuan yang sama secara independen. "Mengagumkan untuk menduga mutasi acak mungkin telah terjadi pada jenis penyelesaian adaptasi yang sama, lebih dari satu kali," kata Julius.

Keunikan Burung Hantu



Burung ini termasuk golongan burung buas (karnivora, pemakan daging) dan merupakan hewan malam (nokturnal). Seluruhnya, terdapat sekitar 222 spesies yang telah diketahui, yang menyebar di seluruh dunia kecuali Antartika, sebagian besar Greenland, dan beberapa pulau-pulau terpencil. Di dunia barat, hewan ini dianggap simbol kebijaksanaan, tetapi di beberapa tempat di Indonesia dianggap pembawa pratanda maut, maka dinamankan Burung Hantu. Walau begitu tidak di semua tempat di Nusantara burung ini disdbut sebagai burung hantu. Di Jawa misalnya, nama burung ini adalah darès atau manuk darès yang tidak ada konotasinya dengan maut atau hantu. Di Sulawesi Utara, burung hantu dikenal dengan nama Manguni. Akhir-akhir ini kerap kali burung ini dijadi kan sebagai Hewan Peliharaan. Burung hantu dikenal karena matanya besar dan menghadap ke depan, tak seperti umumnya jenis Hewan Peliharaan burung lain yang matanya menghadap ke samping. Bersama paruh yang bengkok tajam seperti paruh elang dan susunan bulu di kepala yang membentuk lingkaran wajah, tampilan "wajah" burung hantu ini demikian mengesankan dan kadang-kadang menyeramkan. Apalagi leher burung ini demikian lentur sehingga wajahnya dapat berputar 180 derajat ke belakang. Umumnya Burung Hantu berbulu burik, kecoklatan atau abu-abu dengan bercak-bercak hitam dan putih. Dipadukan dengan perilakunya yang kerap mematung dan tidak banyak bergerak, menjadikan burung ini tidak mudah kelihatan; begitu pun ketika tidur di siang hari di bawah lindungan daun-daun. Ekor burung hantu umumnya pendek, namun sayapnya besar dan lebar. Rentang sayapnya mencapai sekitar tiga kali panjang tubuhnya. Burung hantu berburu di malam hari, meski sebagiannya berburu ketika hari remang-remang di waktu subuh dan sore (krepuskular) dan ada pula beberapa yang berburu di siang hari.Mata yang menghadap ke depan, sehingga memungkinkan mengukur jarak dengan tepat; paruh yang kuat dan tajam; kaki yang cekatan dan mampu mencengkeram dengan kuat; dan kemampuan terbang tanpa berisik, merupakan modal dasar bagi kemampuan berburu dalam gelapnya malam. Beberapa jenis bahkan dapat memperkirakan jarak dan posisi mangsa dalam kegelapan total, hanya berdasarkan indera pendengaran dibantu oleh bulu-bulu wajahnya untuk mengarahkan suara. Sarang terutama dibuat di lubang-lubang pohon, atau di antara pelepah daun bangsa palem. Beberapa jenis juga kerap memanfaatkan ruang-ruang pada bangunan, seperti di bawah atap atau lubang-lubang yang kosong. Bergantung pada jenisnya, bertelur antara satu hingga empat butir, kebanyakan berwarna putih atau putih berbercak.

Selasa, 13 November 2012

Nyamuk dan Penularan HIV

HIV dapat menular melalui empat macam cairan tubuh: darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Cairan tubuh lainnya tidak menularkan HIV. Penularan HIV dapat terjadi antara lain melalui hubungan seks yang tidak aman, penggunaan satu jarum suntik secara bersama-sama, penularan dari ibu ke anaknya, transfusi darah yang tercemar HIV, maupun kecelakaan kerja. Walaupun mungkin ada perpindahan darah melalui “gigitan” nyamuk, namun belum pernah dinemukan laporan kasus penularan HIV melalui cara ini. Sesuai dengan namanya, HIV hanya dapat hidup dalam tubuh manusia (human). Dalam tubuh nyamuk, HIV tidak berpengaruh dan berpeluang untuk mati. Hal ini disebabkan karena lingkungan dalam tubuh nyamuk tidak sesuai bagi kelangsungan hidup HIV. Tentu pertanyaan mengenai penyebaran HIV lewat nyamuk tidak berhenti sampai di sini saja. Beberapa pertanyaan lagi dapat muncul sebagai lanjutan. Misalnya: bagaimana jika ada HIV yang terkandung dalam sisa darah yang menempel pada mulut nyamuk? Apabila nyamuk tersebut menusukkan mulutnya ke orang lain, apakah bisa terjadi penularan HIV? Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat terjawab dengan fakta bahwa penularan HIV tidak terjadi semudah penularan penyakit infeksi lain, seperti hepatitis B atau demam berdarah dengue. Untuk terjadi penularan HIV dari satu manusia ke manusia lain, harus ada jalan keluar virus dari orang yang menularkan (exit), virus harus tahan terhadap dunia luar dan tidak mati (sustain), jumlah virus cukup banyak (sufficient), dan harus ada jalan masuk virus pada tubuh orang yang akan tertular (entry). Memang saat nyamuk “menggigit” pengidap HIV, terbentuk suatu jalan keluar (exit) bagi virus. Lalu jika nyamuk tersebut “menggigit” orang yang lain, terbentuklah suatu jalan masuk (entry). Namun jumlah virus yang menempel pada mulut nyamuk tentu sangat sedikit jumlahnya, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada, karena darah yang menempel pun kuantitasnya sedikit sekali. Hal ini menyebabkan faktor “sufficient” yang dibutuhkan untuk terjadinya penularan HIV tidak dapat terpenuhi. Dari analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak perlu terlalu takut dengan penularan HIV jika berhati-hati, apalagi sampai mengkhawatirkan adanya penularan HIV melalui “gigitan” nyamuk. Isu-isu dan informasi-informasi yang tidak benar mengenai pengaruh nyamuk dalam penularan HIV dapat menimbulkan kegelisahan masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat tentang betapa kecilnya peluang nyamuk menularkan HIV mungkin telah memicu timbulnya stigma kepada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Pada beberapa kasus, stigma ini bahkan menjadi tindakan diskriminatif yang sangat merugikan ODHA dan keluarganya, misalnya pengucilan atau pengusiran. Padahal ODHA dapat tetap hidup bersama dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar tanpa harus dianggap sebagai sumber penularan yang menakutkan. Di sinilah edukasi memiliki peranan yang penting. Informasi-informasi yang mungkin terlihat sepele dapat memberikan pengaruh positif dalam kehidupan bermasyarakat apabila disosialisasikan dengan baik

Senin, 12 November 2012

Alap-alap Kawah


Alap-alap Kawah

Alap-alap kawah (Falco peregrinus) atau Peregrine Falcon dalam bahasa Inggris adalah salah satu spesies alap-alap berukuran besar, dengan panjang sekitar 50 cm. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kelabu dan biru, berparuh kuning besar dengan ujung hitam lancip dan berekor pendek. Dada dan perut berwarna putih dengan garis-garis hitam. Burung betina serupa, tapi biasanya berukuran dan mempunyai paruh lebih besar dari burung jantan.
Mangsa utama alap-alap kawah adalah aneka burung berukuran sedang, seperti merpati dan kerabatnya, nuri, jalak dan ayam. Burung-burung ini diburu biasanya pada waktu sedang terbang. Alap-alap ini juga memangsa hewan-hewan lain, seperti kelinci, kelelawar, serangga, kadal dan ikan.
Alap-alap kawah diketahui sebagai salah satu makhluk tercepat di dunia. Pada waktu terbang mengejar mangsanya, burung ini dapat mencapai kecepatan 320 km/jam.

Anak jenis
Sekitar sembilan belas subspesies dikenali dengan daerah yang tersebar hampir di seluruh belahan bumi, dengan perkecualian di Antartika. Hampir semua subspesies di belahan bumi utara bermigrasi pada musim dingin ke daerah yang lebih hangat. Termasuk Falco peregrinus calidus dari Asia utara yang bermigrasi ke wilayah-wilayah pesisir dan dataran rendah kepulauan Sunda Besar

 
Subspesies F.p. ernesti di Gn. Mahawu
Ras penetap (non-migran) elang peregrine F.p. ernesti, dijumpai di pegunungan-pegunungan di Sumatera utara dan barat, Kalimantan utara, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Ambon, Ternate, Papua dan beberapa pulau di sekitarnya. Ras ini berwarna lebih gelap di dada dan jarang ditemukan.
  
Konservasi
Spesies ini mempunyai daerah sebaran yang luas. Beberapa dari subspesies terancam oleh hilangnya habitat, penggunaan pestisida dan kontaminasi. Alap-alap kawah diletakkan dalam status Beresiko Rendah pada IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I.

manfaat sawo bludru


SAWO BLUDRU

Sawo Bludru merupakan kelompok tanaman yang tergolong dalam suku Sapotaceae (sawo-sawoan). Merupakan tanaman buah-buahan tahunan. Semua jenis Sawo buahnya enak dimakan, sehingga jenis buah Sawo ini banyak dibudidayakan sebagai tanaman buah dan buah sawo ini mempunyai beberapa jenis yaitu: Sawo Bludru, Sawo Manila dan Sawo Kecik. Dari ketiganya yang terkenal hanyalah Sawo Manila dan dua diantaranya mungkin sudah langka.

Nama daerah untuk sawo ini bermacam-macam khususnya di Pulau Jawa antara lain Sawo Bludru (Yk), sawo apel, sawo ijo (Jateng), sawo hejo(Snd), sawo kadu (Btn), kenitu/manecu (Jatim), sawo duren (Btw)

Sawo Bludru selain pohonnya langka buahnya pun jarang dijual di pasar. Buahnya sebesar buah apel, berbentuk bulat hingga bulat telur sungsang, berdiameter 5-10 cm, dengan kulit buah licin mengkilap, coklat keunguan atau hijau kekuningan sampai keputihan. Kulit agak tebal, liat, banyak mengandung lateks dan tak dapat dimakan. Daging buah putih atau keunguan, lembut dan banyak mengandung sari buah, manis, membungkus endokarp berwarna putih yang terdiri dari 4-11 ruang yang bentuknya mirip bintang jika